Home » » Antara Abraham Lincoln dan Vampir Indonesia

Antara Abraham Lincoln dan Vampir Indonesia


Kemarin iseng-iseng saya menonton kembali salah satu film Hollywood yang tahun lalu pernah diputar di bioskop-bioskop Indonesia dan diangkat dari novel berjudul sama karangan Seth Grahame-Smith, Abraham Lincoln Vampire Hunter, mengisahkan tentang sisi lain presiden AS ke-16 tadi sebagai pemburu vampir berdasarkan jurnal pribadi rahasianya. Lepas dari benar atau tidaknya sisi lain Presiden Lincoln tersebut, penulis novel lumayan akurat dalam menghubung-hubungkan kejadian fiksi dengan sejarah negara AS. Perang Sipil AS yang berlangsung tahun 1861-1865 semasa Lincoln menjabat presiden diceritakan dengan akurat, termasuk pertempuran Bull Run dan Gettysburg.

Union yang didukung 23 negara bagian di utara dan beribukota di Washington DC sempat kelabakan menghadapi Konfederasi yang beribukota di Richmond Virginia dan didukung oleh 11 negara bagian pendukung perbudakan di wilayah selatan (South Carolina, Mississippi, Florida, Alabama, Georgia, Alabama, Texas, Virginia, Arkansas, Tennessee dan North Carolina), sebelum akhirnya menang dalam pertempuran yang menentukan di Gettysburg. Union yang diperkuat 2,1 juta pasukan di bawah komando Jenderal Ulysses S. Grant nyaris kalah menghadapi Konfederasi yang ”hanya” diperkuat 1,064 juta pasukan di bawah komando Jenderal Robert E. Lee. Penulis novel dengan cerdas menghubungkan fakta ganjil tersebut dengan dukungan para vampir terhadap pasukan Konfederasi. Di penghujung cerita digambarkan bahwa akhirnya tentara ”vampir’ Konfederasi dikalahkan oleh Union di Palagan Gettysburg dengan amunisi yang seluruhnya terbuat dari perak.

Sejarah Indonesia pun dekat dengan para “vampir” yang mengancam cita-cita mulia para founding fathers kita. Secara harfiah, kakek pernah bercerita dalam perang gerilya tahun 1948-1949 beliau melihat penampakan ”vampir Jawa” dalam bentuk nenek-nenek bertaring panjang ketika mengawal pengungsi di daerah sekitar pegunungan Wonosobo, Jawa Tengah. Kakek dan beberapa anak buahnya mengaku sangat ketakutan melihat mahluk gaib tersebut. Untung saja vampir tadi hanya sekedar menampakkan dirinya dan tidak mengganggu para pengungsi, mungkin dia kasihan melihat penderitaan rakyat dan TNI di pengungsian yang lelah dikejar-kejar Belanda he he he. Daerah pegunungan Wonosobo memang dekat dengan cerita-cerita mistis yang mendirikan bulu roma, seperti arca Dieng yang bisa berjalan sendiri, misteri kerajaan jin di Telaga Menjer dan Gunung Sundoro-Sumbing.

Tanggal 19 Desember 1948, Panglima Koninlijke Nederlands Indische Leger (KNIL), Letjen Simon Spoor memerintahkan pasukan para baret merah dan pasukan komando baret hijau (Korps Speciale Troepen) yang bermarkas di Batujajar Bandung sebagai ujung tombak untuk mendobrak pertahanan Yogyakarta yang pada waktu itu merupakan ibukota RI sebagai hasil Perjanjian Renville yang sangat merugikan Indonesia. Dalam briefingnya di sebuah hangar Lapangan Terbang Andir (Husein Sastranegara) Bandung, Jenderal Spoor menginstruksikan para prajurit pilihannya untuk merebut Lapangan Terbang Maguwo yang hanya berjarak 7 km dari pusat Kota Yogyakarta, dan kemudian menangkap para pemimpin RI di Istana Kepresidenan Gedung Agung.

Agresi Militer II bersandi operasi Kraai (burung gagak) tersebut dilakukan Belanda secara mendadak tanpa pernyataan perang sebelumnya. Jembatan udara yang bertumpu pada 20 pesawat angkut C-47 Dakota di Lanud Kalibanteng (Ahmad Yani) Semarang dan 16 pesawat lainnya di Lanud Andir Bandung ini, sukses mengangkut 2 kompi pasukan para baret merah dan pasukan komando baret hijau yang langsung efektif menjebol pertahanan Lanud Maguwo yang dipertahankan dengan gigih oleh tidak lebih dari 1 kompi Pasukan Pertahanan Pangkalan (sekarang Paskhas TNI AU). Sore harinya Belanda telah memasuki halaman Istana Kepresidenan sekaligus menawan para pimpinan RI seperti Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, KH Agus Salim dan Sutan Syahrir untu kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Yogyakarta sebagai centre of gravity RI jatuh, Indonesia terancam terhapus dari peta dunia karena serangan para ”vampir” yang anti semangat kemerdekaan.

Penyerahan diri Sukarno kepada Belanda tidak serta merta memadamkan cita-cita para perintis negara lainnya untuk mendirikan negara yang merdeka dan berdaulat. Tanggal 22 Desember 1948 atau 3 hari setelah Agresi Militer II, Sjafrudin Prawiranegara, putra Banten yang ketika itu menjabat Menteri Kemakmuran dalam kabinet Sukarno membentuk kabinet Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Halaban, sebuah wilayah bekas onderneming (perkebunan) Belanda di Payakumbuh Sumatera Barat. Hal tersebut merupakan tindak lanjut dari hasil rapat di sebuah rumah kecil di tepi Ngarai Sianok, Bukittinggi tanggal 19 Desember 1948. Sjafrudin Prawiranegara, Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan dan Panglima Teritorium (Kodam) Sumatera Kolonel Hidayat berinisiatif untuk membentuk PDRI sebagai kelanjutan dari pemerintahan RI yang telah jatuh. Melalui corong radio yang dipancarkan secara darurat dari hutan ke hutan di Sumatera bagian tengah, pemerintahan tanpa ibukota ini (sejarah resmi mencatat PDRI beribukota di Bukittinggi) menyuarakan kepada dunia internasional bahwa RI masih ada.

Di Pulau Jawa, Panglima Besar TNI Jenderal Sudirman dalam keadaan sakit parah memimpin perang gerilya sampai ke wilayah Jawa Timur. Beliau sebenarnya kecewa menyaksikan kenyataan Sukarno menyerahkan diri kepada Belanda, tidak seperti Presiden Yugoslavia, Joseph Broz Tito, yang ikut bergerilya memimpin kaum partisan selama masa pendudukan NAZI Jerman di Yugoslavia. Padahal TNI telah menyiapkan contingency plan berupa tempat pengungsian yang berfungsi sebagai ibukota darurat RI di Wonosari, Gunung Kidul. Diplomasi militer di Pulau Jawa (termasuk Serangan Umum 1 Maret 1949) dan belantara Sumatera inilah yang membuat agresi Belanda hanya mampu bertahan selama kurang lebih 6 bulan karena pada tanggal 30 Juni 1949 seluruh tentara Belanda ditarik dari Yogyakarta dan Sukarno kembali dari pengasingannya tanggal 6 Juli 1949 sampai akhirnya terjadi penyerahan kedaulatan di Konferensi Meja Bundar tanggal 29 Desember 1949.

Sayangnya dalam kurun waktu 1965-1967 negara ini gagal menghadapi serangan vampir lainnya yang dampaknya dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia sampai hari ini.
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment